Kompas Cyber Media
Rabu, 9 Juni 2003
Salah satu kendala yang masih dihadapi nelayan Indonesia adalah keterbatasan informasi untuk mengetahui lokasi keberadaan ikan. Padahal, seperti halnya jasa ramalan cuaca yang diberikan pemerintah melalui Badan Meteorologi dan Geofisika, informasi ini akan membuat nelayan melaut dengan efisien dan efektif.
Kemajuan teknologi sebenarnya sudah bisa membantu keperluan nelayan ini, bahkan sampai ke jenis ikan tertentu, salah satunya adalah tongkol, yang menjadi komoditas andalan sektor kelautan. Kondisi oseanografi yang mempengaruhi migrasi tongkol di antaranya adalah suhu dan arus. Umumnya tongkol menyenangi perairan relatif panas dan hidup pada lapisan permukaan sampai kedalaman 40 meter, dengan kisaran suhu 20ºC-28ºC. Perubahan parameter tersebut dapat diidentifikasi dengan bantuan satelit inderaja. Untuk mengidentifikasi keberadaan tongkol di perairan Indonesia, digunakan data citra Suhu Permukaan Laut (SPL) satelit NOAA-12 dan Anomali Tinggi Permukaan Laut (ATPL) TOPEX/ERS-2 yang masing-masing mengitari perairan Indonesia setiap dua kali sehari dan 10 hari.
Perubahan SPL dan ATPL selama setahun (Februari 2001-April 2002) kemudian dibandingkan dengan hasil tangkapan ikan per bulan di tempat pelelangan ikan, TPI-2 Labuan. Data selama setahun itu mewakili empat perubahan musim yaitu musim peralihan I (Februari-April), musim timur (Mei-Juli), musim peralihan II (Agustus-Oktober), dan musim barat (November-Januari). Dengan melihat korelasi perubahan musim pada perubahan kondisi hidrologi (citra SPL) dan dinamika arus (citra ATPL) dengan hasil tangkapan ikan di Selat Sunda dan sekitarnya, bisa dihasilkan informasi karakteristik lingkungan hidup di mana ikan tongkol berada.
Korelasi hasil
Gambar 1 menunjukkan grafik hasil tangkapan ikan tongkol di TPI-2 Labuan selama perioda Februari 2001-Januari 2002. Hasil tangkapan ikan selama musim peralihan I adalah rendah, musim timur tinggi, musim peralihan II kembali menurun, dan musim barat rendah. Secara umum hasil tangkapan ikan pada musim timur jauh lebih tinggi dibandingkan musim barat. Mengapa demikian?
Gambar 2 adalah citra SPL satelit NOAA-12 tanggal 2 Juli 2001 (puncak Musim Timur). Dominasi massa air dengan suhu relatif panas sekitar 29°C-31°C tersebar secara merata di seluruh wilayah perairan Selat Sunda.
SPL lebih hangat terdapat di sekitar P Panaitan, P Krakatau, dan sekitarnya. Massa air hangat diperkuat dengan citra ATPL satelit TOPEX/ERS-2 yang bernilai positif (30 cm) di lokasi tersebut (gambar tidak diperlihatkan). Terdapat juga indikasi terjadinya upwelling (naiknya massa air atau arus dari dasar laut) yang ditandai dengan SPL relatif dingin sekitar 25°C-27°C di perairan barat Sumatera. Upwelling mulai terbentuk bulan Juni dan mencapai puncaknya Agustus (analisis citra satelit tidak diperlihatkan).
Gambar 3 adalah citra SPL satelit NOAA-12 tanggal 3 Januari 2002 (puncak musim barat) yang menunjukkan kontras perbedaan kondisi hidrologi dengan musim timur sebelumnya. Dapat dilihat wilayah tertutup awan dan massa air dingin dengan suhu sekitar 25°C-27°C mendominasi perairan Selat Sunda dan sekitarnya. Hal itu juga ditunjang dengan citra ATPL satelit TOPEX/ERS-2 yang bernilai negatif: -10 cm sampai -5 cm (analisis citra satelit tidak diperlihatkan).
Dari hasil citra satelit di atas dapat diketahui bahwa pada musim timur, terutama pada lokasi di mana suhu lebih hangat berkisar 29°C-31°C, produksi ikan tongkol meningkat tajam di TPI-2 Labuan. Lokasi TPI ini dipilih karena penampakan SPL hangat tersebut di sekitar P Panaitan, Teluk Labuan, dan sekitarnya yang berdekatan.
Citra satelit TOPEX/ERS-2 dimanfaatkan sebagai pendukung identifikasi massa air hangat (dingin) yang berkorelasi dengan nilai ATPL positif (negatif) dan untuk mengetahui kondisi arus geostrofik untuk menentukan kemungkinan migrasi ikan.
Hal lain yang perlu dicatat sebagai salah satu faktor meningkatnya hasil tangkapan ikan di Selat Sunda dan sekitarnya pada musim timur adalah fenomena upwelling, yang terjadi di perairan barat Sumatera atau mulut Selat Sunda dari arah Samudera Hindia yang mulai terjadi Juni dan mencapai puncaknya Agustus 2001. Hal itu terlihat dengan jelas pada citra satelit NOAA-12 (gambar 2).
Fenomena "upwelling"
Apakah upwelling yang terjadi selama musim timur di wilayah itu berlaku permanen?
Studi Murtugudde dkk (2000) dan terakhir Susanto dan Gordon (2001) yang menganalisis citra satelit TOPEX/ POSEIDON selama 1981-1999 menunjukkan, fenomena tersebut berlangsung setiap tahun sepanjang pantai Jawa-Sumatera dari arah Samudera Hindia, sebagai respons angin regional yang berhubungan dengan perubahan musim.
Pada musim timur, angin bergerak dari timur ke barat, memindahkan massa air hangat di permukaan sepanjang pantai tersebut ke arah laut lepas. Kekosongan massa air di permukaan akan diisi oleh upwelling massa air di kedalaman yang lebih dingin, sekitar 25°C-27°C (rata-rata suhu permukaan di perairan Indonesia 28°C-29°C), yang kaya zat hara.
Fase awal upwelling dengan intensitas tinggi terjadi di perairan selatan Jawa, kemudian bergerak ke barat dan mencapai maksimum di sekitar perairan barat Sumatera atau mulut Selat Sunda pada bulan Agustus. Hasil ini konsisten dengan hasil citra satelit NOAA-12 (gambar 2). Mereka juga menemukan intensitas upwelling meningkat dan terus bergerak ke barat mencapai ekuator hingga mencapai puncaknya bulan November selama episode El Nino. Dengan demikian, untuk perairan Selat Sunda dan sekitarnya, musim timur dan lebih khusus lagi selama berlangsungnya El Nino, merupakan waktu paling ideal untuk menangkap ikan.
Satelit inderaja dapat digunakan sebagai indikator pelacak lokasi keberadaan ikan tongkol di Selat Sunda. Dengan metode dan analogi yang sama, tentunya dapat dilakukan analisis dengan jangkauan yang lebih luas lagi untuk semua wilayah di perairan Indonesia.
Dengan kemajuan teknologi satelit inderaja dewasa ini- misalnya dengan citra klorofil-a satelit SeaWiFS sebagai indikator yang memperpendek teori rantai makanan ikan-dan data kelautan yang ada, bukan suatu hal yang berlebihan apabila masyarakat mengharapkan pemerintah dapat membangun sistem informasi wilayah potensi ikan di seluruh perairan Indonesia. Datanya bisa disampaikan setiap hari di program televisi nasional, seperti halnya jasa ramalan cuaca.
Fadli Syamsudin Staf Peneliti P3-TISDA, BPPT. Mahasiswa Program Doktor di Ocean-Atmosphere Lab, Hiroshima University.